Tim Paslon 2 Minta Debat Satu Kali, Diduga ‘Kong Kalikong’ dengan KPU

Bojonegoro – Dalam rapat koordinasi yang berlangsung di kantor KPU Bojonegoro, perwakilan pasangan calon (paslon) nomor urut 2, Setyo Wahono-Nurul Azizah, mengusulkan agar debat publik Pilkada 2024 hanya dilaksanakan satu kali saja.

Usulan ini sontak menimbulkan pertanyaan dan kecurigaan dari berbagai pihak, terutama tim paslon 1, Teguh Haryono-Farida Hidayati.

Keputusan tersebut, menurut Joko Purwanto, LO Paslon 2, didasarkan pada berita acara 312 yang menyatakan bahwa jadwal yang tersisa hanyalah tanggal 13.

“Kami hanya mengikuti jadwal dan berita acara yang telah disepakati. Hingga kini belum ada sesuatu yang membatalkan berita acara tersebut,” ujarnya.

Namun, sikap Paslon 2 ini menimbulkan kontroversi dan kritik dari kubu lawan. Himawan, seorang relawan dari tim paslon 1, mempertanyakan alasan di balik permintaan tersebut.

“Kenapa minta debat hanya satu kali? Seperti ada upaya untuk menunda-nunda hingga debat tinggal sekali sebelum hari pemilihan. Cerdas sekali langkah ini,” sindirnya.

Himawan menuding adanya potensi skenario untuk mengurangi intensitas debat yang justru penting bagi masyarakat Bojonegoro dalam melihat kualitas calon pemimpinnya.

Selain itu, keputusan KPU Bojonegoro untuk menunda debat yang sebelumnya dijadwalkan pada Jumat, 1 November 2024, hingga berita ini dirilis belum diikuti dengan penjelasan resmi.

Bahkan, Ketua KPU Bojonegoro dilaporkan sulit ditemui oleh awak media, menambah kuat dugaan adanya upaya untuk menghindari transparansi.

Sebelumnya, KPU Bojonegoro sempat mendapat sorotan tajam karena menghentikan debat publik pada Sabtu, 19 September 2024, dengan alasan bahwa format debat tersebut dinilai tidak sesuai dengan aturan PKPU 13/2024. Dalam konteks ini, Paslon 1 menilai bahwa berita acara yang ditandatangani oleh KPU bersifat multitafsir dan mengundang ketidakpastian.

Langkah Paslon 2 yang mengusulkan pembatasan debat menjadi satu kali mengundang berbagai spekulasi tentang motivasi di balik usulan tersebut.

Dalam iklim politik yang semakin kompetitif, harapan publik terhadap transparansi dan akuntabilitas proses Pilkada semakin tinggi, dan segala bentuk upaya yang dinilai mengurangi keterbukaan justru akan memperkeruh citra calon dan lembaga penyelenggara.(rin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *